SINGARAJA | patrolipost.com – Wacana pembangunan bandar udara (bandara) Bali Utara semakin tak pasti. Setelah sebelumnya polemik lokasi bandara di Desa/Kecamatan Kubutambahan menuai kontroversi, kini opsi kedua lokasi di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, juga mendapat penolakan keras warga setempat.
Mereka menganggap menjatuhkan pilihan lokasi bandara di Desa Sumberklampok pasca deadlock di Desa Kubutambahan, dianggap mustahil mengingat lahan tersebut masih berstatus konflik agraria.
Sebalumnya mencuat isu pemindahan lokasi bandara Bali Utara dari Desa Kubutambahan ke Buleleng barat, tepatnya Desa Sumberklampok, Gerokgak. Sejumlah tokoh desa itu membenarkan rencana bandara berlokasi di desa mereka.
Awalnya warga setempat tidak mengetahui wilayah mereka telah di pilih menjadi opsi lokasi bendara. Pasalnya, warga masih berpatokan pada komitmen Gubernur Bali soal solusi jalan tengah terkait konflik berkepanjangan untuk memberikan lahan kepada warga dengan komposisi 70 : 30. Warga mengaku kaget saat diundang Gubernur untuk membicarakan masalah lahan di Desa Sumberklampok menjadi pilihan lokasi bandara. Tentu saja rencana itu ditolak mentah-mentah karena dianggap tidak ada dalam kerangka penyelesaian masalah lahan di desa tersebut.
Putu Artana, salah satu tokoh yang diundang oleh gubernur mengaku seperti mendengar petir di siang bolong saat dipaparkan rencana bandara di desanya. Saat itu gubernur menyatakan bandara itu harus berlokasi di Desa Sumberklampok karena merupakan instruksi presiden.
”Memang dipaparkan lokasi di Desa Kubutambahan sudah tidak memungkinkan akibat adanya konflik maka lokasinya di pindah ke barat di Desa Sumberklampok. Ya, kami tolak rencana itu sebelum permohonan masyarakat kami diselesaikan yakni janji gubernur akan memberikan komposisi pembagian lahan 70 untuk warga dan 30 provinsi,” ujar Artana, Kamis (15/10/2020).
Artana mengaku, Tim Sembilan bentukan kepala desa setempat untuk mendata terkait persoalan lahan di Desa Sumberklampok dengan anggota Misnawi, Kadek Sukaradana, Ketut Witra, Putu Artana, Wayan Wira, Abusyairi, Jro Nengah Nadia (Kelian Adat), Syahrawi dan Ketut Gendra telah sepakat untuk menolak pembangunan bandara itu di Desa Sumberklampok.
”Mendengar rencana bandara di Desa Sumberklampok bagai petir di siang bolong. Kami tegas menolak,” ucapnya.
Menurut Artana, lahan di Desa Sumberklampok seluas 600 hektar yang berasal dari lahan eks HGU dengan luas 200 hektar, Unit II PT Margarana seluas 267 hektar dan unit 3 seluas 151 hektar.
”Sesuai pemaparan gubernur lahan untuk bandara seluas 360 hektar. Dengan ketentuan warga akan direlokasi ke sisi Selatan dari lahan yang ditempati sekarang. Yang kami sayangkan, gubernur menyebut keberadaan kami di Desa Sumberklampok ilegal, padahal PT Margarana berdiri tahun 1982 jauh setelah warga mendiami lahan tersebut,” sesalnya.
Intinya menurut Artana, suara penolakan dari masyarakat sudah mulai terdengar meluas dan ini akan membesar sesuai perkembangan yang berlangsung. ”Kami pastikan menolaknya (bandara,red),” tandas Artana. (625)