DENPASAR | patrolipost.com – Panitera PN Denpasar akan membacakan penetapan hukum Peninjauan Kembali (PK) dengan nomor 482 PK/PDT/2018 Pengadilan Negeri
(PN) Denpasar dalam perkara Pura Hyang Pasek Gaduh yang terletak di
Banjar Babakan, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Pembacaan penetapan keputusan itu rencananya pada 29 Oktober nanti.
Hal ini membuat 45 pengempon Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh resah. Pasalnya, rencana pembacaan penetapan itu tidak diketahui dengan jelas tujuannya. Namun para pengempon menafsirkannya penetapan itu nanti adalah eksekusi.
Ketua tim kuasa hukum dari Jero Mangku I Wayan Medri sebagai pemangku di Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, I Nyoman Sukrayasa SH, Senin (21/10) mengatakan, PN Denpasar telah mengirim surat dengan nomor w-24.U.I/6508/HK.02/10/2019 tanggal 15 Oktober 2019 perihal pemberitahuan pembacaan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 25 Juni 2018 dalam perkara nomor 383/Pdt.G/2014/PN.Dps, jo nomor 49/EKS/2019. Tapi tidak dijelaskan penetapan apa yang dimaksud.
Surat tersebut menurutnya tidak komunikatif karena tidak jelas penetapan apa yang dimaksud, apakah eksekusi ataukah penundaan. Pemangku dan para pengempon Pura menafsirkan surat tersebut adalah akan dilakukan eksekusi mengingat kliennya Jero Wayan Medri kalah saat pada proses hukum di tingkat PK.
“Tiba-tiba ada surat tentang pembacaan ketetapan Ketua PN Denpasar pada 29 Oktober ini di Kantor Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Tapi tidak dijelaskan. Itu yang membuat klien kami bersama pengempon pura resa dan merasa terancam kehilangan tempat suci itu,” ungkapnya.
Sukrayasa menegaskan, pihaknya akan menempuh jalur hukum. Menurutnya, PN Denpasar tidak boleh gegabah dalam melakukan eksekusi. Karena perkara tersebut masih bergulir di Polda Bali, dimana para terlapor yang merupakan kerabat kliennya diduga menggunakan silsilah palsu sehingga menang saat PK. Pihaknya menilai PK di Mahkama Agung (MA) secara prinsip tidak menggunakan asas-asas hukum adat Bali. Yang sebenarnya ninggalin Kedaton atau pindah agama sebenarnya asas yang hidup dalam masyarakat Hindu Bali. Hukum ini di pengadilan MA tak dipergunakan dengan alasan asas itu secara perdata tak dipergunakan.
“Kami mempelajari dan menggeluti adat dan budaya Bali. Dalam hukum adat Bali, berlaku yang disebut dengan hukum asas ketergantungan. Barang siapa yang ninggal Kedaton, maka pada saat itu juga hukum asas ketergantungan itu berlaku. Maka dari itu pada saat meninggalkan kepercayaan Hindu Bali menganut kepercayaan yang lain, maka hak-hak yang meninggalkannya tersebut pupus atau hilang,” katanya.
Untuk diketahui perkara ini bergulir sejak tahun 2014. Saat itu Jero Wayan Medri digugat oleh keempat kerabatnya Kornelius I Wayan Mega (63), Thomas I Nengah Suprata (60), I Wayan Emilius (51) dan I Nyoman Bernadus (51). Pertama, di Pengadilan Negeri Denpasar yang diputuskan 22 Januari 2015. Dalam putusan dengan nomor 383/Pdt.G/2014/PN.DPS Wayan Medri dinyatakan kalah. Namun Wayan Medri melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Berdasarkan putusan dengan nomor 80/PDT/2015/PT.DPS Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 12 Agustus 2015 Wayan Medri dinyatakan menang.
Selanjutnya di Mahkama Agung, dalam putusan MA dengan nomor 92K/PDT/2016 Wayan Medri dinyatakan menang. Namun proses hukum tetap berlanjut dengan Peninjauan Kembali (PK). PK dengan nomor 482 PK/PDT/2018 memenangkan terlapor.
Sejak berdiri pura ini memiliki sejarah yang panjang. Tahun 1942-1962 pemangku pura tersebut adalah I Nengah Lawa merupakan orangtua dari keempat kerabatnya. Pada tahun 1962, I Nengah Lawa pindah kepercayaan memeluk agama Katolik. Kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan oleh I Ketut Narwi. Setelah I Ketut Narwi meninggal kepemangkuan Pura tersebut dilanjutkan oleh I Wayan Medri sampai sekarang. (007)