SINGARAJA | patrolipost.com – Penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan terus menggelinding hingga ke daerah-daerah. Beberapa organisasi profesi kesehatan mulai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) kompak menolak karena dianggap ancaman tidak saja bagi profesi namun seluruh tata kelola dunia kesehatan akan menjadi taruhan.
Ketua IDI Cabang Kabupaten Buleleng dr I Wayan Parna Arianta membenarkan seluruh organisasi profesi kesehatan termasuk IDI di Buleleng telah bersepakat untuk menolak RUU Omnibus Law Kesehatan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selain tidak jelas arahnya, RUU tersebut akan membuldozer sejumlah peraturan soal kesehatan dan profesi kesehatan.
”Ada beberapa peraturan yang mengatur soal kesehatan, praktik kedokteran, undang-undang soal kekarantinaan atau wabah dan penyakit menular termasuk undang-undang yang beberapa waktu lalu disahkan terkait profesi dan tenaga kesehatan lain, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker dan lainnya itu akan dijadikan satu,” kata dr Wayan Parna Arianta, Rabu (7/12-2022).
Anehnya, tanpa didahului konsultasi publik dengan asosiasi kesehatan tiba-tiba RUU Omnibus Law Kesehatan menyeruak ke permukaan. Padahal, beberapa hal krusial didalamnya tidak singkron dengan undang-undang yang sebelumnya sudah ada.
”Sebetulnya kita berharap ada penguatan dengan hadirnya undang-undang baru yang sudah cukup efektif untuk pelayanan kesehatan kendati beberapa kasus ada disharmoni dan kesusahan mendapatkan izin praktik tapi tidak bisa digeneralisir yang sebelumnya tidak baik,” imbuhnya.
Keanehan lain RUU ini DPR RI mengaku bukan usulannya termasuk ke Kementrian Kesehatan juga sama. Namun belakangan pernyataan Menteri Kesehatan membuka sedikit isi dari draf RUU tersebut diantaranya mempercepat produksi dokter spesialis dengan tujuan lebih meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.
”Soal dokter spesialis hanya satu bagian dari kompleksitas masalah kesehatan termasuk soal promotif preventif, promosi kesehatan dan memenjaga pola hidup termasuk deteksi dini penyakit. Itu yang menjadi bagian pertimbangan kenapa RUU ini kami tolak,” katanya.
Belum lagi soal resertifikasi bagi dokter termasuk izin praktik selama 5 tahun sekali yang memantau hingga etika berpraktik yang sudah baku ada di AD/ART organisasi profesi yang ujung-ujungnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. ”Sedang di RUU Omnibus Law Kesehatan dalam draf yang beredar aturan itu akan ditarik dan di handle oleh Kementerian Kesehatan. Artinya tidak ada lagi organiasi profesi akan dilibatkan memantau kualitas pelayanan kesehatan diantaranya soal pemberian rekomendasi. Pertanyaannya apakah Kementerian Kesehatan akan mampu menghandle semua itu,” tanya dr Arianta yang juga Direktur RS Kertha Usada Singaraja ini.
Alasan lain penolakan menurutnya sejak awal digagas sudah cacat prosedural karena tanpa melibatkan organisasi profesi. Dan jika dipaksakan tentu akan menjadi masalah besar karena itu soal tanggung jawab terlebih masukan dan usulan dari organisasi profesi tidak diakomodasi.
”Dampak negatif yang terjadi ke depan seperti apa pertanggung jawaban pemerintah karena semua organisasi profesi sudah menyatakan menolak. Ini soal keselamatan,” ucapnya.
Hal lain yang menjadi kekhawatiran dalam draf RUU yakni adanya kemudahan tenaga kesehatan asing berpraktik di Indonesia. Wayan Parna mempertanyakan soal tanggungjawab untuk memastikan mutu dalam memberikan pelayanan kesehatan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Ini juga untuk menghindari asumsi bahwa setiap lulusan luar negeri lebih hebat daripada produk dalam negeri,” ujarnya.
Karena itu, IDI minta agar seluruh proses RUU Omnibus Law Kesehatan dihentikan. Kalaupun nanti akan dilanjutkan, IDI minta agar dilakukan secara terbuka dengan melibatkan para pihak di dalam organisasi profesi.
”Kalau seperti itu prosesnya tentu hasilnya juga akan lebih bertanggungjawab. RUU yang akan disahkan menjadi UU tanpa menyertakan aspirasi tenaga profesi tidak akan efektif, bahkan akan terjadi perlawanan. Dan menolak itu salah satu bentuknya,” tandas dr Wayan Parna Arianta. (625)