DENPASAR | patrolipost.com – Penasihat hukum Tomy Winata, Maqdir Ismail menilai eksepsi yang diajukan oleh penasihat hukum Haryanto Karjadi sama sekali tidak masuk logika hukum. Maqdir menyebut, eksepsi yang dibangun sangat tidak cermat.
“Klien kami Tomy Winata adalah orang yang membuat laporan karena telah menjadi korban tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Peristiwa yang dilaporkan merupakan peristiwa pidana yang telah terjadi dan dilakukan oleh terdakwa. Tomy Winata selaku kreditur PT GWP – yang menggantikan kedudukan Bank CCBI, memiliki kepentingan karena akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Asset yang dipergunakan sebagai jaminan utang menjadi hilang atau berkurang. Jadi, laporan yang dibuat oleh Tomy Winata jelas memenuhi pengertian Pasal 108 ayat (1) KUHAP jo Pasal 1 angka 24 KUHAP tersebut,” ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (22/11/2019).
Menurut Maqdir, kronologis yang disampaikan dalam nota keberatan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Karena piutang yang dialihkan oleh BPPN kepada PT Millenium Atlantic Securities (MAS) hanyalah tiga piutang dari kreditur yang berada di bawah BPPN, yaitu Bank PDFCI, Bank Rama dan Bank Dharmala. Fakta itu tertuang dengan jelas dan nyata dalam Akta Perjanjian Pengalihan Piutang (Cessie) Nomor 67 tanggal 23 Februari 2004 yang dibuat di hadapan Hilda Sari Gunawan, SH, Notaris di Jakarta dan Perjanjian Jual Beli Piutang yang dilegalisasi dengan nomor 060/L/II/2004 tanggal 23 Februari 2004 oleh Notaris Hilda Sari Gunawan, SH. Dimana dalam lampiran 1 disebutkan dengan jelas bahwa BPPN hanya mengambil alih piutang dari 3 kreditur yang berada di bawahnya, yaitu PT Bank Dharmala, PT Bank PDFCI, dan PT Bank Rama.
Sedangkan di dalam Lampiran 3 (Daftar Harga Pembelian Piutang) disebutkan piutang yang dialihkan oleh BPPN kepada MAS adalah piutang Bank Dharmala, Bank PDFCI dan Bank Rama. Surat dari Tim Pemberesan BPPN No: S-009/PMH-TPBPPN/0304 tanggal 18 Maret 2004 Perihal: Status Penanganan BPPN Terhadap PT Geria Wijaya Prestige, yang ditujukan kepada PT Bank Danamon Tbk selaku Agen Sindikasi, dengan jelas menyatakan bahwa hak tagih BPPN (eks Bank Dharmala, Bank Rama dan Bank PDFCI) telah dialihkan kepada MAS. Surat tersebut ditandatangani oleh Robertus Bilitea selaku Wakil Ketua Pokja Penanganan Masalah Hukum Team Pemberesan BPPN. Surat dari Tim Pemberesan BPPN No.: S-32/POKJA-III/TP-BPPN/0804 tanggal 23 Agustus 2004, Perihal: PT. Geria Wijaya Prestige (GWP) – Pelaporan Sita Jaminan oleh BPPN, yang ditujukan kepada PT Bank Danamon Indonesia selaku Agen Sindikasi, menyatakan bahwa hak tagih BPPN yang meliputi hak tagih eks. Bank PDFI, Bank Rama dan Bank Dharmala terhadap PT GWP telah dialihkan kepada MAS.
“Klaim terdakwa bahwa kesepakatan bersama tanggal 08 November 2000 merupakan pengalihan seluruh piutang kreditur sindikasi kepada MAS dari BPPN merupakan klaim yang sama sekali tidak mempunyai dasar/landasan hukum dan fakta karena kesepakatan itu hanya merupakan kesepakatan agar BPPN melakukan penagihan terhadap PT GWP, bukan melakukan penjualan piutang, dan untuk melakukan penagihan itu BPPN harus mendapatkan surat kuasa khusus dari kreditur sindikasi lainnya, yaitu PT Bank Multicor, PT Bank Arta Niaga Kencana, Tbk, PT Bank Finconensia, PT Bank Indovest, Tbk (Dalam Likuidasi). Surat kuasa itu pada akhirnya tidak pernah dibuat oleh 4 kreditur tersebut,” ujarnya.
Kesepakatan Bersama dibuat pada tanggal 8 November 2000 sedangkan pengalihan hak tagih BPPN (eks Bank Dharmala, Bank Rama dan Bank PDFCI) kepada MAS baru dilakukan pada tahun 2004. Jika piutang yang dialihkan oleh BPPN termasuk piutang dari 4 kreditur sindikasi lainnya, maka tentunya dalam jual beli piutang antara BPPN dan MAS tidak hanya disebutkan 3 eks bank tersebut yang dialihkan seperti yang tertuang dalam Lampiran 1 dan Lampiran 3 sebagaimana diuraikan di atas. Namun faktanya, hanya tiga eks bank tersebut yang dialihkan oleh BPPN kepada MAS.
Adanya gugatan Tomy Winata terhadap GWP terkait dengan wanprestasi tidak ada relevansinya dengan perkara/laporan pidana tentang memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP) dan penggelapan sertifikat tanah yang dipergunakan sebagai jaminan utang (Pasal 372 KUHP) sehingga perkara pidana tersebut tidak berkaitan dengan sengketa kepemilikan.
Dengan kata lain, adanya perkara perdata yang diajukan oleh Tomy Winata terhadap PT GWP tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menghentikan atau menunda proses pidana tersebut, karena gugatan yang diajukan tidak menyangkut mengenai sengketa kepemilikan. Dalam perkara pidana ini juga tidak menyangkut mengenai sengketa kepemilikan, tetapi mengenai memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik dan penggelapan sertifikat tanah yang dipergunakan sebagai jaminan utang.
“Jadi, dalil adanya pre-judicial geschil yang diajukan oleh terdakwa sama sekali tidak berdasar. Tidak ada bukti atau fakta bahwa PT GWP telah melunasi kewajibannya, apalagi terkait dengan hak tanggungan tidak ada bukti bahwa terhadap hak tanggungan telah dilakukan Roya,” jelas Maqdir.
Terhadap proses pidana yang sedang berlangsung ini, pihak terlapor Hartono Karjadi (kakak Harijanto Karjadi) juga telah melakukan Praperadilan di PN Jakarta Selatan September 2018 lalu terhadap Kapolri Cq Kapolda Bali Cq Direskrimsus Polda Bali dimana memutuskan menolak pemohon Hartono Karjadi cs dan memenangkan Polda Bali (100/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. tgl 17 September 2018).
Dalam Praperadilan tersebut juga disampaikan terkait legal standing Tomy Winata dan adanya laporan polisi di Direktorat Pidum Bareskrim Polri, namun diputuskan bahwa tidak ada hubungannya dan relevansinya terhadap tindak pidana yang sedang berjalan saat ini. (007)