SINGARAJA | patrolipost.com – Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (PPKBPP-PA) Kabupaten Buleleng melakukan identtifkasi atas maraknya kasus persetubuhan dan kekerasan terhadap anak di bawah umur. Selain faktor sosial, kemiskinan disebut menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Dengan angka kemiskinan sebesar 35 ribu KK, usia anak yang terjun ke dunia kerja semakin tinggi. Akibatnya, sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing keluarga miskin tak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan hidup. Akhirnya, anak-anak yang masih di bawah umur menjadi salah satu solusi untuk menutup biaya hidup dengan ‘memaksa’ mereka bekerja dan berbaur dengan orang dewasa.
Berdasarkan data yang dihimpun sejak Februari 2021 hingga Mei 2021, setidaknya terdapat 5 kasus persetubuhan anak di bawah umur yang terjadi di Buleleng. Hampir semua kasus tersebut telah dilaporkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Buleleng.
Kasus terakhir, dengan korban KA (13) seorang pelajar, diduga telah disetubuhi oleh mantan pacarnya berinisial KRP (21), warga Desa Tamblingan, Kecamatan Banjar, Buleleng. Mirisnya, sebagai bentuk ancaman, terlapor KRP menyebarkan rekaman video bugil korban ke ranah publik melalui sejumlah akun media sosial (medsos).
Kadis PPKBPP-PA Buleleng Made Arya Sukerta mengatakan, urgensi terhadap perlindungan anak harus dilakukan karena perintah Undang-undang. Terlebih, dalam konstelasi sosial bermasyarakat seorang anak berposisi lemah. Dari beberapa kasus, kata Arya Sukerta, mereka selalu menjadi korban.
“Ada trend peningkatan kasus kekerasan (seksual) terhadap anak. Secara umum kendati masih dilakukan penelitian, itu bisa terjadi akibat pandemi (Covid-19). Dan pandemi ini menggerus ketahanan ekonomi keluarga,” jelas Arya Sukerta, Kamis (1/7/2021).
Contoh aktual adanya dampak pandemi, angka kemiskinan meningkat menjadi 35 ribu KK. Hal ini memaksa keluarga miskin untuk mengoptimalkan sumber daya keluarga. Kondisi ini tidak saja istri (perempuan) bekerja, namun anak-anak pun terpaksa ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
“Anak-anak di bawah umur menjadi gelagapan memasuki dunia baru bagi mereka itu. Pada titik inilah anak-anak itu bisa saja menjadi objek atau pelaku kekerasan. Bisa jadi karena situasional atau ditempatnya bekerja menjadi pemicu tindak kekerasan tersebut,” imbuhnya.
Dari hasil beberapa wawancara dengan korban, menurut Arya, ditemukan korelasi antara sosial media terutama yang berisi konten porno yang sangat mudah diakses oleh mereka. Dampaknya, cara pandangnya jauh melampaui usianya.
“Ada pengakuan dari pelaku maupun korban bahwa peristiwa kekerasan seksual itu berawal dari konten porno, baik dilakukan pribadi maupun pihak lain sehinggu menjadi pemicu kasus perbuatan seksual dibawah umur,” ujarnya.
Menurut Arya, solusinya secara terus menerus dilakukan sosialisasi aturan soal perlindungan anak. Dan itu tidak bisa mencover sebanyak 148 desa akibat luas wilayah dan keterbatasan dana. Yang paling memungkinkan, keluarga berada di garis depan memberikan perlindungan dengan memastikan anak-anak mereka berada di zona aman saat beraktivitas di luar rumah.
Mantan Kadishub ini menyebut, idealnya untuk perlindungan perempuan dan anak sesuai regulasi korban kekerasan seharusnya ditampung di rumah aman milik Pemkab Buleleng. Di tempat itu mereka diawasi dan diberikan konseling untuk memulihkan trauma psikhologinya dan menjauhkan dari sumber masalah.
Hanya saja, Dinas PPKBPP-PA Buleleng tidak memiliki rumah aman untuk mengawasi korban dan keluarganya. Hal ini berdampak pemulihan trauma psikis menjadi tersendat karena korban dekat dengan TKP.
“Pendampingan psikologi jadi tidak maksimal dan memerlukan biaya serta waktu lebih dalam proses hukum selama pemeriksaan maupun persidangan,” tandas Arya. (625)