Sida: Menakar Kontribusi Pihak Saudari dalam Urusan Adat Manggarai

prosesi nikah1
Ilustrasi upacara adat perkawinan Manggarai yang membutuhkan kontribusi 'anak wina'. (ist)

BORONG | patrolipost.com – Memasuki bulan Mei hingga Oktober setiap tahun, masyarakat Manggarai dihadapkan dengan banyak urusan adat seperti urusan perkawinan dan kenduri. Selain itu, urusan lain seperti patungan dana untuk biaya sekolah anak juga menjadi tanggung jawab sosial masyarakat sekitar.

Dalam tatanan masyarakat Manggarai yang patrilineal, anak laki-laki (anak rona/ata one) bertugas menjaga warisan orangtua, sedangkan anak perempuan (anak wina) mengikuti suaminya, menjaga dan menggarap lahan si suami yang juga diwariskan dari orangtuanya.

Bacaan Lainnya

Namun, posisi sebagai saudari (anak wina) memikul beban tanggung jawab yang sama dengan pihak saudara (anak rona) dalam berbagai urusan adat. Kontribusi dalam urusan adat yang diselenggarakan pihak saudara diyakini sebagai berkat bagi ‘anak wina’, berupa kesehatan yang baik,  rejeki atas usaha dan keberhasilan dalam pendidikan anak.

Sida dilakukan sekitar sebulan sebelum upacara adat agar pihak saudari mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan dana yang dibebankan kepada pihaknya.

Bahasa Sida menggambarkan situasi terjepit dan kesusahan sehingga membutuhkan bantuan pihak saudari agar bisa keluar dari situasi tersebut.

“Yo, api wa mai, lewing eta mai, Bokak one longka, wa’i one ngali,” ungkap salah satu anak rona yang datang ‘sida’ di keluarga besar awak media patrolipost.com, Sabtu (17/5/2025).

Salah satu tetua adat, Bernadus mengungkapkan makna dari kata-kata pembuka ‘sida’. Menurutnya, rangkaian kata-kata ini merupakan simbol ‘merendah’ sebagai pihak yang berada dalam kesulitan.

“Jika diterjemahkan, ‘api wa mai Lewing eta mai’ menggambarkan situasi yang sangat sulit seperti panas yang membakar, bisa digambarkan sebagai ‘neraka’. Sementara itu,  ‘Wa’i one ngali, bokak one longka’ menggambarkan situasi dimana seseorang jatuh di jurang yang dalam dan tidak bisa keluar jika tidak dibantu,” ungkap Bernadus.

Jumlah uang yang diminta saat ‘sida’ bisa dalam jumlah besar. Misalkan urusan adat perkawinan saudara kandung, pihak saudari bisa dimintai kerbau atau dalam bentuk uang untuk menggantikannya.

“Namun dalam tradisi sida terdapat seni tawar menawar atau disebut ‘poka’. Jika dimintai sumbangan 5 juta rupiah, pihak anak wina bisa menawarkan 2,5 juta sebagai kontribusinya pada acara yang direncanakan nantinya,” lanjut Bernad.

Dalam urusan rangkaian acara duka, kontribusi tergantung acara yang dijalankan. Dalam acara kenduri (kelas) ada dua kategori, ‘kelas de ru’ (kenduri dalam lingkup kecil) dan ‘kelas Mbau’ (kenduri yang melibatkan banyak anak rona dan ‘anak rona ulu’).  Pada saat acara ‘kelas mbau’ anak rona ulu dalam suatu rangkaian ritual memberikan perlindungan bagi pihak ‘anak wina’.

Karena dua kategori tersebut, kontribusi ‘anak wina’ bisa menengah ke bawah. Kontribusi paling kecil diistilahkan dengan ‘pampang wakar’ dengan nilai uangnya sekitar Rp. 500.000. Sedangkan untuk acara kelas Mbau, biaya yang dibutuhkan cukup besar, sehingga anak wina juga mesti menyumbang dengan jumlah uang yang besar pula. (pp04)

Pos terkait