WEETEBULA | patrolipost.com – Prosesi adat pernikahan Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kerap dinarasikan membutuhkan biaya besar tidak sepenuhnya benar. Ukurannya bukan materi, melainkan aturan adat yang harus dipenuhi yakni tunda bina (ketuk pintu), kette katonga (ikat), dan dikki (pindah).
Emad Gareth (31 tahun), salah satu pria Manggarai yang mendapatkan pasangan dari Sumba Barat Daya (SBD) menegaskan, orang Sumba itu baik, apalagi jika orang luar masuk dan menjadi bagian dari keluarga mereka.
“Jika jodohmu orang Sumba, jangan takut! Ambilah dan bawalah,” tegas Emad Gareth di Kalaki Kambe, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, Jumat (4/11/2022).
Lebih lanjut Emad Gareth menjelaskan, perempuan Sumba tentunya bukan dibawa begitu saja. Harus melalui 3 (tiga) tahapan urusan adat yakni: tunda bina (ketuk pintu), kette katonga (ikat), dan dikki (pindah).
“Setiap tahapannya dengan jenis bawaannya masing-masing. Tunda bina, pihak laki-laki bawa seekor kuda dan sebuah parang. Tahap kette katonga, pihak pria persiapkan kerbau dan kuda sesuai permintaan pihak perempuan. Hal yang sama juga saat Dikki (pindah). Keluarga perempuan yang justru mempersiapkan balasan berupa kuda dan kerbau dengan kain sarung,” jelasnya.
Emad Gareth menambahkan, untuk urusan adat pernikahannya dengan perempuan SBD tinggal tahap ketiga yakni dikki. Tunda bina dan kette katonga sudah dilaksanakan.
Sementara itu Gabriel Ngongo Bili, salah satu tokoh adat setempat menjelaskan orangtua di Sumba tidak seperti cerita yang beredar di luar Pulau Sumba.
“Kami tidak mengutamakan materi saat ada proses urusan adat pernikahan. Yang paling penting adalah kaidah-kaidah yang dalam hukum adat terpenuhi dalam setiap tahapan yang meliputi tiga bagian tersebut; tunda bina, kette katonga dan dikki,” jelas Gabriel.
Sedangkan terkait kebiasaan pria Sumba selalu mengikat parang di pinggang dalam urusan apapun, seorang pria sumba yang tidak ingin identitasnya dipublikasikan menjelaskan, parang yang selalu dibawa kemana-mana bukan untuk persiapan saling membunuh. Parang menjadi identitas dan ciri khas pria Sumba. Pria tanpa parang akan terasa kurang lengkap.
“Di sini (Sumba), pria tanpa parang itu seakan kurang lengkap. Kepercayaan diri pria Sumba akan paripurna jika dilengkapi dengan parang. Ini terkait ciri khas turun temurun, bukan untuk menakut-nakuti siapa pun,” pungkasnya. (pp04)