DENPASAR | patrolipost.com – Seorang notaris, Ketut Alit Ardana dilaporkan ke Polres Gianyar dengan tuduhan melakukan pemalsuan tandatangan. Namun sang notaris membantah keras melakukan tanda tangan atau menyuruh orang untuk menandatangani.
Kasus ini berawal dari Gwie Peter Winarso menjual tanahnya kepada Lie Yansen Wiyono di Desa Pejeng Kawan, Kabupaten Gianyar. Mereka kemudian membuat akta Pengikat Jual Beli (PJB) Nomor 17 tertanggal 4 Februari 2020 di hadapan notaris Alit Ardana. Menurut kuasa hukum Gwie Peter Winarso, Yehezkiel Putera Kumala SH MH CPCLE, bahwa dalam perjanjian tersebut disepakati harga tanah seluas 2000 m2 yang terdiri dari 2 SHM itu seharga Rp4 miliar. Yansen telah membayar tanda jadi Rp1,2 miliar dan sisanya Rp1,8 miliar akan dilunasi paling lambat tanggal 27 Maret 2020, apabila tidak melunasi pembeli akan terkena denda sampai tanggal 5 April 2020. Dan sampai dengan tanggal 5 April 2020 tidak ada kelanjutan pembayaran dari pembeli.
“Sehingga tanggal 6 April 2020, klien kami datang ke notaris untuk meminta SHM, tetapi oleh notaris Pak Alit Ardana ini tidak mau kasih. Sehingga kami melakukan somasi juga tetap tidak mau kasih dengan alasan tanggal 1 April 2020 ia mendapat surat permohonan dari pembeli untuk tidak boleh menyerahkan dokumen milik penjual. Sehingga kami laporkan oknum notaris ini Polres Gianyar dengan tuduhan penggelapan, tetapi kemudian di-SP3-kan,” ungkapnya.
Dijelaskan Putera Kumala, meski laporan dugaan penggelapan itu dihentikan, namun dalam pengembangan penyidik ditemukan adanya dugaan pemalsuan tanda tangan dalam pengajuan permohonan pengalihan lahan dari pertanian untuk pembangunan. Atas dasar temuan tersebut, kliennya kembali melaporkan oknum notaris itu ke Polres Gianyar dengan tuduhan pemalsuan. “Karena klien kami merasa tidak pernah mengajukan permohonan, tapi tiba – tiba sudah keluar produknya. Jadi, tanggal 18 Maret 2020 klien kami terima pesan singkat melalui WA dari notaris ini bahwa pembeli tidak bisa melanjutkan beli karena lahan tersebut adalah lahan pertanian. Padahal dalam sertifikat tertulis lahan kosong, bukan lahan pertanian. Dan syarat lahan pertanian adalah luasnya dua hektar, bukan dua puluh are,” terangnya.
Merasa tidak pernah mengajukan permohonan, sehingga Peter Winarso mengecek ke BPN Gianyar dan ditemukanlah adanya permohonan dan kuasa. Dalam surat kuasa itulah diduga kuat adanya pemalsuan tanda tangannya Peter Winarso. Sehingga tanggal 20 Mei 2021, Peter Winarso melaporkan oknum notaris itu ke Polres Gianyar dengan tuduhan pemalsuan. Namun menurut Putera Kumala kasusnya saat ini mandek di Polres Gianyar karena hingga saat ini oknum notaris itu belum bisa diperiksa lantaran harus meminta izin kepada Majelis Kehormatan Notaris (MKN) Provinsi Bali. Penolakan berkali – kali dari MKN menyebabkan oknum notaris tidak bisa dipanggil dan diperiksa.
“Kita sudah adukan hal ini ke Biro Wasidik dan dilakukan gelar perkara di Mabes Polri tanggal 4 September 2021 diakui oleh notaris ini bahwa ada intervensi dari pihak ketiga yang membiayai permohonan dan yang akan membangun adalah pihak ketiga ini, bukan Pak Yansen selaku pembeli. Terkait dugaan pemalsuan tanda tangan, menurut ahli pidana Ibu Roro bahwa meski belum ada hasil lab forensik tapi secara kasat mata tanda tangannya Pak Winarso berbeda dengan dokumen / administrasi pemerintahan, seperti KTP dan kartu keluarga. Dan sudah ada rekomendasi meminta untuk ditingkatkan kasus ini dari lidik ke sidik,” urainya.
Sementara notaris Alit Ardana melalui kuasa hukumnya Made “Ariel” Suardana membantah pernyataan pihak Peter Winarso. Menurut Suardana, dalam perjanjian tersebut, penjual dan pembeli sepakat agar perubahan peruntukan tanah yang dulunya tanah perkebunan akan diubah menjadi perumahan. Persoalan kemudian muncul ketika hasil yang diperoleh dari BPN Gianyar terhadap dua sertifikat tersebut, ternyata satu sertifikat yang tidak bisa diubah peruntukannya. “Atas hal tersebut, klien kami menyampaikan kepada penjual dan pembeli, namun penjual Pak Peter Winarso tidak pernah merespon. Selanjutnya penjual dan pembeli diundang untuk menghadiri mediasi selama dua hari berturut – turut secara resmi. Tetapi bukannya penyelesaian yang diperoleh, malahan klien kami selaku notaris yang disomasi dan diancam pidana oleh Pak Peter Winarso. Bahkan, ia meminta sertifikat yang sudah ditransaksikan itu dikembalikan dan menekan notaris agar tidak menyerahkan sertifikat tersebut kepada pembeli,” katanya.
Diuraikan Suardana, kasus surat kuasa dan surat permohonan aspek saat ini sudah disahkan oleh PN Gianyar dan Pengadilan Tinggi Denpasar, sehingga secara materi hukum sesungguhnya tidak ada yang salah. Bahkan Peter Winarso sudah mengujinya dalam persidangan perdata tersebut namun ia tetap dinyatakan kalah. Dan surat yang dilaporkan itu bukanlah surat yang dapat menimbulkan hak maupun kerugian bagi siapa pun. Bahkan kliennya tidak mendapatkan keuntungan atau hak apapun dari surat tersebut.
“Klien kami tidak pernah menyuruh siapa pun untuk memalsukan atau menyuruh memalsukan tanda tangan Pak Peter Winarso karena pekerjaan itu diurus oleh staff bagian aspek di kantornya dan klien kami tidak tahu menahu soal itu. Ini adalah surat biasa yang hampir sama dengan surat pengurusan Samsat kendaraan atau resi mengurus SIM atau bahkan surat kuasa tanda terima barang yang tidak mengandung konsekuensi apapun,” tandasnya. (007)