BORONG | patrolipost.com – Leles merupakan tradisi kerja masyarakat Manggarai pada umumnya. Dalam leles/emi lime, warga secara bergotong royong menyelesaikan sebuah pekerjaan seperti membajak sawah atau mengetam padi.
Sistem kerja dalam Leles adalah tenaga dibayar tenaga. Misalkan si A membantu si B saat mengetam padi selama 3 hari, nanti berikutnya si B yang membantu si A selama 3 hari untuk pekerjaan yang sama.
“Dalam tradisi Leles, bukan hanya menyelesaikan pekerjaan yang jadi poinnya. Lebih dari itu membina keakraban antar warga juga menjadi bonus,” ungkap Frans Armin, anggota Leles di Bea Weli, Desa Golo Wune, Kecamatan Lambaleda Selatan, Manggarai Timur, Selasa (5/4/2022).
Sementara itu, pemilik sawah Herman Jata mengaku sangat terbantu dengan adanya tradisi Leles. Jika diupah, dirinya tidak mampu karena ada belasan orang yang bekerja mengetam padinya.
“Kalau mereka diupah dengan uang, tentunya saya tidak bisa karena memang saya kesulitan dari sisi ekonomi. Namun dengan Leles, saya hanya siapkan tenaga jika sewaktu-waktu mereka juga mengetam padi atau pekerjaan lainnya,” ujar Herman.
Dalam tradisi Leles, semua bekerja bahu membahu. Saat kebanyakan pria yang datang ke sawah tersebut, maka sebagian dari laki-laki tersebut ikut mengetam padi, sementara yang lain merontokkan padi dari tangkainya menggunakan mesin, dua atau 3 diantaranya bertugas ‘elong renco’. Mereka mengambil padi yang sudah dipotong di pematang sawah, kemudian memikulnya ke mesin rontok padi.
Tradisi Leles sangat meringankan pemilik lahan karena tidak perlu mengeluarkan dana untuk upah pekerja. Saking ringannya pekerjaan dengan budaya Leles ini, orang yang mampu mengupah tenaga kerja pun tak mau rugi, mereka pun ikut dalam Leles tersebut. (pp04)